Mengenal diri sebelum menikah #kulwap parenting


Pre-Marital Assesment: Mengenal Diri Sendiri Sebelum Menikah
Oleh: Mega Tala Harimukthi., S.Psi., M.Psi., Psikolog.
Salah satu tugas perkembangan di usia dewasa adalah mencari pasangan hingga akhirnya menikah dan membentuk sebuah keluarga. Namun dalam proses pembentukan keluarga, sesungguhnya hal tersulit bukanlah menemukan siapa pasangan yang tepat. Hal tersulit yang selama ini lupa kita lakukan adalah bertanya pada diri sendiri "Sudahkah saya mengenal diri saya? Sudahkah saya paham pasangan seperti apa yang saya butuhkan? Sudahkah saya tahu dengan orang karakter bagaimana yang bisa hidup beriringan dengan saya?" Seringkali yg kita lupa justru melakukan self-assessment.
Britzman dan Saueheber (2014) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi kesuksesan sebuah pernikahan dan juga mengurangi angka perceraian. Faktor-faktor itu antara lain:
1. Pendapatan rutin lebih dari USD50000 (versus di bawah USD25000)
2. Memiliki anak setelah menikah 7 bulan atau lebih (versus punya anak sebelum menikah)
3. Menikah di atas usia 25 tahun (versus di bawah 18 tahun)
4. Utuh atau tidaknya keluarga (versus orang tua yg bercerai)
5. Religiusitas (versus tidak beragama)
6. Tingkat pendidikan (versus individu yang drop out saat masa sekolah).
Keenam faktor itu jelas didapat dari penelitian yang dilakukan di beberapa wilayah di Amerika. Apakah faktor itu berlaku juga di Indonesia? Bisa saja iya dan bisa juga tidak. Tapi keenam faktor itu bisa kita jadikan acuan dalam melakukan self-assesment "Benarkah kita sudah mengenal diri kita dan siap untuk menikah?"
Secara sederhana kita bisa belajar dari enam faktor di atas bahwa memang tidak dipungkiri keenam faktor itu memiliki pengaruh pada sebuah pernikahan dan seringkali juga faktor-faktor itu yang memicu perceraian. Namun tidak ada pernikahan yang ideal, maka dari itu penting untuk mengenali diri sendiri dulu sebelum akhirnya memutuskan menikah.
Idealnya proses mengenal diri sebelum menikah tidak hanya dilakukan oleh salah satu pihak. Alangkah baiknya kalau calon pengantin melakukan asesmen bersama atau lebih dikenal dengan konseling pra-nikah.
Proses persiapan menuju pernikahan itu lebih kompleks dari proses mempersiapkan acara pernikahannya. Lebih penting mana? Paling penting persiapkan diri sebelum menikah.
Sudah banyak yang menjelaskan bahwa pra-menikah sebaiknya kita melakukan pengecekan kondisi kesehatan reproduksi, belajar finansial, mempelajari hukum pernikahan (terutama bagi yg menganut adanya perjanjian pra-nikah), belajar agama, dan memahami kondisi psikologis diri sendiri, pasangan, serta bagaimana kehidupan pernikahan nantinya. Karena pernikahan tidak selalu berjalan sesuai harapan, kadang kala juga justru pernikahan menjadi stressor bagi individu.
Dalam ilmu psikologi ada panduan pre-marital yang bisa dilakukan oleh pasangan yang akan menikah. The Prevention and Relationship Enhancement Program (PREP) merupakan metode yang digunakan untuk melakukan konseling pranikah maupun self-asessment bagi individu yang akan menikah.
Hahlweg, Baucom, & Markman (1988) dalam Renick, Blumberg, & Markman (1992) menyebutkan ada tiga fokus yang diutamakan dalam PREP, yaitu:
1.  Bagaimana individu berusaha meningkatan kesadaran diri dan komunikasi
2.  Bagaimana individu meningkatkan komunikasinya dan memperbaiki kualitas relationshipnya
3. Bagaimana individu menggunakan kemampuan komunikasi dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara bersamaan.
Olson dan Fowers (1992) juga menyebutkan bahwa ada area-area dalam sebuah relasi sebagai pasangan yang perlu diperhatikan, yaitu masalah realistic expectation, personality issues, communication, conflict resolution, financial management, leisure activities, sexual relationship, children and parenting, family and friend, equalitarian roles, and religious orientation.
Pertanyaan-pertanyaan penting yang perlu ditanyakan ke diri sendiri ketika berkeinginan menikah:
1.  Apakah kamu berpikir bahwa pernikahan akan menambah sesuatu dalam hidupmu? Misalnya apakah kamu yakin kalau pasanganmu adalah sosok yang dicari untuk membersamai di dalam susah dan senang nantinya?
2. Dapatkah kamu membuat pasangan dan pernikahan menjadi prioritas utama bagimu? Bisa ditambahkan juga dengan bertanya ke diri sendiri, bagaimana dengan komitmen memiliki anak setelah menikah? Dan lain sebagainya.
3.  Apakah kamu mau dan mampu melakukan penyesuaian dengan pasangan dan keluarganya kelak?
4.  Dapatkah kamu dan pasangan membuat tujuan hidup semakin luas dan menyatukan tujuan hidup?
5.  Apakah pernikahan menjadi sebuah keinginan atau kebutuhan?
Lima pertanyaan di atas bisa menjadi key point untuk mengenali diri sendiri apakah memang sudah siap menikah atau belum.
Karena pernikahan bukan hanya menyesuaikan diri dengan hidup seseorang tapi juga berusaha menyesuaikan dengan emosinya, cara pandangnya, cara hidupnya, keluarganya, dan banyak hal lain. Satu hal yang terpenting, jika masih memiliki masalah dengan diri sendiri yang belum diselesaikan, masalah dengan masa lalu ataupun trauma dalam keluarga yang sekiranya bisa berdampak buruk pada pernikahan nantinya, silakan konsultasikan langsung dengan ahlinya ya.
Karena sebuah pernikahan yang sehat dan Bahagia butuh diusahakan sejak sebelum menikah. 😊

Sumber Pustaka:
Briyzman, Mark J. & Sauerhebe, Jill Duba. 2014. Preparing Couples for an Enriched Marriage: A Model in Individual Psychology. The Family Journal: Counseling and Therapy for Couples and Families 2104, Vol. 22(4) 428-436.
Olson, David H., & Fowers, Blaine J. 1992. Four Types of Premarital Couples: An Empirical Typlogy Based on PREPARE. American Psychological Association, Journal of Family Psychology, 1992, Vol 6, No. 1, 0-21.
Renick, Mari Jo., Blumberg, Susan L., & Markman, Howard J. 1992. The Prevention and Relationship Enhancement Program (PREP): An Empirically Based Preventive Intervention Program for Couples. National Council on Family Therapy, Family Relation, Vol. 41, No. 2 (Apr, 1992), pp.141-147.
www.marriage.com



Sesi Tanya Jawab
Bagaimana kalau pasangan punya innerchild yang tidak mau ia akui? Sementara sewaktu-waKtu bisa meledak.
= Sebentar deh, pasangan di sini maksudnya pacar atau suami/istri ya? Karena akan beda jawabannya. Kalau ini terkait pacar, masih ada waktu utk berpikir ulang apakah memang she/he is the only one? Yang berat adalah kalau dia sudah jadi suami/istri ya.
Perlu dipahami innerchild memang bisa menghambat perkembangan kita, relasi kita, dan segala aspek dalam kehidupan kita. Jadi menghambat kalau ga diselesaikan. Ya memang banyak individu bermasalah itu tidak mau mengakui masalahnya. Kuncinya memang tetap dekati dan ajak diskusi, apa yg bisa anda bantu sbg pasangan agar kondisi relasinya membaik. Terlebih kalau sudah dalam ikatan pernikahan ya. Kalau memungkinkan tetap ajak konsultasi dg ahli. Karena sbg pasangan belum tentu kita bisa membantu menyelesaikannya.
Bagaimana mengatasi mental block / tidak percaya diri karena dulunya ortu bercerai? Jadi tidak ada panutan dan tidak yakin bisa utuh bertahan dengan pasangan yang sekarang?
= Ini yg salah satunya saya bahas di atas. Kalau dari bbrp penelitian yg saya baca, latar belakang di keluarga memang mempengaruhi keputusan individu utk menikah/tidak.
Kalaupun menikah jadi cemas/tidak dg relasi dg suami nantinya. Pikiran yg wajar ketika punya latar belakang ortu cerai. Saranku banyak cari referensi sosok orang yg bs dijadikan panutan dg latar belakang sama. Lebih baik lagi sih kalau misal dekat dg orangtua lalu bertanya alasan dulu pisah karena apa dan minta masukan orang tua hal apa yg perlu dijaga dalam sebuah pernikahan. Minta bantuan jg dg pasangan utk menguatkan dan memotivasi agar bisa melewati masa krisis ini.
Kalau semua cara sudah dilakukan dan belum ada hasilnya. Silakan lakukan konseling saja ya. Artinya personality issue dalam dirimu perlu dibereskan dulu sebelum menikah.
Coba ngobrol dg teman2 yg sudah menikah juga deh, minta sudut pandangnya ttg pernikahan dan keluarga seperti apa. Kurangi dan jauhi orang2 yg membuatmu semakin merasa terpuruk, bikin down dan lainnya. 🙏🏻
Kalau ada kejadian tertentu kita merasa itu jadi ‘trigger’ trauma masa lalu, berarti belum selesai dan berdamai dengan diri sendiri ya? Meskipun dengan org2 yang menyebabkan trauma tsb sudah baik2 saja hubungannya.
= Iyes. Kalau sudah selesai misalpun dihadapkan pada trigger yg sama paling kita ingat tapi gak menimbulkan reaksi yg berlebihan di tubuh. Kalau tubuh masih merespon gak nyaman artinya perlu diselesaikan. Tapi musti tau dulu traumanya seperti apa dan bagaimana.
Kadang kala ada kejadian2 yg justru penyelesaiannya dg kita belajar memaafkan dan menerimanya. Apalagi misal trauma2 yg berkaitan dg orang tua karena kita ga bisa lagi mengubah hal itu ya.
Perlu dipahami jg hubungan yg sudah membaik dg orang2 yg membuat trauma itu betulan sudah baik atau dianggap baik?
Teman pernah curhat dia menikah dgn bule dan divorce (perceraian). Karena menikah dengan orang bukan WNI, tertutup soal masa kecilnya. Sewaktu menikah KDRT dan divorce, menyebabkan trauma pihak perempuan. Bagaimana mengasuh anak sembari menyembuhkan luka batin?
Jadi dia menetap di negara mantan suaminya demi anaknya dpt hak bulanan dari bapaknya. Tapi setiap bertemu dgn mantan suaminya, tegang dan trauma. Sementara dia hrs kerja juga utk memenuhi kebutuhannya.
= Case khusus ya kalau berkaitan dg WNA. Kalau mau menikah yg aman dg WNA perlu memahami lebih dalam informasi ttg dia. Karena ada batasan jarak, waktu, budaya, bahasa dan lainnya yg berbeda. Sesama WNI saja kita musti kenal. Sering juga aku temuin masalah klienku yg nikah dg WNA berujung dgn divorce dan KDRT. Biasanya yg begini karena memang berkenalannya cepat, langsung mau diajak menikah, dan ga dipungkiri kadang terlanjur  kepincut dg WNA. Di Indonesia masih banyak kejadian begini.
Berat pasti utknya ya masih stay di negara mantan dan hidup begitu. Saranku coba konsultasi dg konselor di negaranya. Kalau itu negara maju biasanya ada layanan konsultasi dg konselor keluarga ataupun psychoterapist.
Gak masalah sambil ngasuh sambil membereskan luka dalam dirinya. Semua kan berproses ya. Setidaknya utk sekarang dia bisa paham dirinya, harapannya ke depan apa, dan buat life mapping baru.
Begitu kira-kira. 🙏🏻
Saya memiliki gambaran ideal peran istri dan ibu, namun saya sadar, kondisi saya saat ini masih jauh sekali dari peran ideal tersebut. Hal ini jadi membuat saya semakin khawatir melangkah ke jenjang pernikahan, selain perasaan insecure karena   saya takut meninggalkan kenyamanan sebagai seorang single.
Pertanyannya, bagaimana mengatasi hal tersebut? Apakah hal ini merupakan indikator bahwa saya jauh dari kata siap menikah?
= Jawabannya seperti yg saya tuliskan di atas ya. Ada area2 masalah relasi yg perlu dijadikan perhatian utk sekarang. Salah satunya realistic expectation dan personalitu issues dalam dirimu sendiri.
Coba ajak ngobrol diri sendiri deh sambil lihat lagi life mapping yg dibuat (kalau buat ya). Lihat sekarang ada di step mana dan akan kemana. Kalau masih besar rasa insecurenya tandanya masih belum selesai dg urusan dirimu. Salah satu indikator yg bisa dilihat apakah menikah itu jd penting adalah ketika mulai tenang dan merasa membutuhkan pasangan yg bisa saling berjalan beriringan. Caranya bagaimana? Utk sekarang ajak bicara dulu diri sendiri ya karena dg ajak bicara jg melatih otak utk berpikir.
Menikah itu sebuah keputusan yg besar dan pasti berpengaruh pd segala aspek kehidupanmu. Think again. Kalau merasa prioritas masih ada di karir, pencapaian pribadi dan ga melibatkan orang lain sama sekali. Ya bisa dibilang belum siap atau bahkan belum ingin menikah.
Kalau misalkan ternyata setelah menjawab pertanyaan tersebut, hanya ingin, lalu bagaimana harus mempersiapkannya agar siap? adakah indikatornya jika benar - benar sudah siap? kemudian, apa yang orangtua alami di pernikahannya, apakah juga akan selalu berpengaruh ke pernikahan anaknya?
= Apa yg kita alami selama hidup (baik ttg orangtua, keluarga, teman dll) punya pengaruh pada diri kita saat ini. Kuncinya selalu lihat dg sudut pandang yg lebih lebar.
Karena kalau stuck dg kondisi pernikahan orang tua, anda bisa semakin meyakini pikiran dan kekhawatiran diri sendiri ttg pernikahan. Thoughts dan belief yg ada dalam diri kita terbentuk jg dr pengalaman. Kira-kira begitu. Semoga menjawab.
Usia saya hampir 30th, tp rasanya blm ada keinginan kuat utk menikah krn melihat banyaknya keluarga dkt yg pernikahannya gagal atau seakan berhasil tp dalamnya bobrok. Ayah ibu sy jg begitu, terutama dulu saat sy kecil. Skrg Alhamdulillah ayah ibu semakin harmonis tp adik sy bermasalah.
Banyak hal dlm keluarga yg membuat sy tkut menikah. Sy jg mengidap anxiety disorder dan sdg dlm proses mencari psikolog Muslimah di Jkt, mgkin Mba tala ada saran.
Intinya gmn sih biar sy mau membuka hati dan menyiapkan diri utk menikah ya mba?
= Pertama, terkait anxiety disorder saya sarankan sebelum ada diagnosa dr ahli baiknya tidak melabeli diri dg itu ya. Kecuali memang sudah mendapat diagnosa sebelumnya. Karena sebuah diagnosa bisa membuat kita down berkepanjangan.
Cara membuka hati dan menyiapkan diri utk menikah, salah satunya dg belajar memaafkan diri sendiri dan menerimanya dulu. Menerima segala kelebihan dan kekurangan. Prosesnya panjang dan butuh waktu. Harus lepas dulu dari masa grieving trhdp banyak kegagalan yg sekelilingmu alami.
Keinginan utk menikah baiknya muncul dari dalam diri sendiri sih, karena kalau dipaksakan misal karena melihat teman gitu. Ya bisa saja kelihatan fine tapi ternyata dalam hati rasanya berat. Kalau kondisi begini justru gak sehat nantinya pernikahannya.
Hmm wajar juga kalau jadi merasa takut menikah karena sekeliling begitu. Tapi kan skrg sudah di tahap dewasa ya. Bisa berpikir, memilih, dan membuat keputusan. Mau stuck di lingkaran kegagalan atau memberanikan diri utk move on. Coba bergaul dg teman2 yg membawa positive vibes ttg pernikahan dan keluarga ya.
Semoga menjawab pertanyaannya ya. 🙏🏻
Setelah Kita mengenal diri sendiri, lalu Kita Perlu mempersiapkn beberapa Hal yg masih kurang. Tapi terkadang Ada bbrp yg bilang tidak Perlu menunggu sempurna/lengkap utk mnemukan psangan (Suami/istri) krn mreka jga akan melengkapi sisi Kita yg kurang. Itu gimana sbaiknya kita benar2 menunggu diri ini siap atau berharap pasangan akan melengkapi?
Gimna tuh mba tal? apakah mungkin pasangan kita akan saling melengkapi? Padahal ada yg bilang jg pasangan itu cerminan diri.
= Pertama yg perlu dibold adalah jangan pernah menikah karena ingin mengubah orang lain ya.
Kelola ekspektasi ttg pasangan karena pernikahan itu jalan beriringan bukan sekedar melengkapi.
Perlu disamakan persepsi ttg melengkapi di sini bagaimana? Kala yg melengkapi tambal sulam ya artinya tetap berat. Baiknya saling melengkapinya itu sama2 punya value dan prinsip sejalan. Sehingga bisa saling mengingatkan dan jalan beriringan.
Karena misal melengkapinya seperti aku pemarah dan dia pendiam. Ya kasihan dong pasangannya. Pasti akan tertekan juga di kemudian hari.
Merujuk pada poin2 yg di atas sudah disampaikan, coba lihat ke situ deh apakah memang belum siap, masih menunggu atau justru kita ternyata punya keinginan lain yg jd prioritas?
Intinya berharap pada pasangan boleh dan normal tapi tetap belajar kelola harapan sendiri ya. Bahwa orang lain bisa saja merespon kita tidak sama dg harapan kita, begitupun sebaliknya. Tetap realistis. 😄
Semoga menjawab pertanyaannya ya.
Usia saya sudah 25 tahun, orangtua sudah sangat mendesak untuk saya segera menikah, tapi sulit sekali bagi saya untuk membuka hati untuk laki2 yg datang dalam hidup saya, saya sudah pernah taaruf beberapa kali dan belum cocok karena saya takut, seperti ada perasaan takut yg berlebihan tentang kemungkinan2 yg akan terjadi kedepan, apakah itu pertanda saya belum berdamai dengan diri sendiri?
= Usia 25 tahun dan orang tua mendesak menikah? Banyak sekali orang di usia 25 tahun an bahkan di bawah 25 tahun yg sudah didesak menikah.
Sudah coba komunikasikan dg orangtua kendala saat ini apa? Karena terkadang orang tua tidak bermaksud mendesak, hanya ingin tahu sebetulnya anaknya ingin mencari pasangan yg bagaimana. Salah satu faktor biasanya sih karena lingkungan. Karena orang-orang sekitar anaknya sudah pada menikah jadinya gitu.
Perlu dibreakdown dulu nih, takutnya karena apa? Takut atau cemas nih? Cemas itu biasanya karena pikiran dan biasanya alasannya tidak jelas. Kecuali di keluarga atau lingkungan terdekat ada yg mengalami hal buruk ttg pernikahan jd terpengaruh. Kalau takut saja tanpa alasan, rasanya perlu belajar lagi mengenal dirimu sendiri. Yes, bisa jadi ini tanda ada hal yg masih perlu dikompromikan dg diri sendiri.
Again, kalau ada yg begini juga. Coba ngobrol dg teman2 yg sudah menikah ya minta sudut pandang mereka. Kadang kita terlalu subjektif dan memegang sesuatu yg kita percayai berlebihan. Good luck! 😄

Closing statement:
“Pernikahan adalah sebuah proses sepanjang masa, jadi utk menghasilkan pernikahan yg sehat dan bahagia dibutuhkan usaha sejak sebelum menikah.
Salah satu usaha utk mencapai pernikahan yg sehat dan bahagia adalah dengan belajar mengenal diri sendiri dan menyelesaikan isu-isu yg masih ada dalam diri”.
Selamay refleksi diri. Good Luck

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Cinta Seorang Guru

FIM Keluarga kunang kunang

#DIRUMAHAJA